Img

e-Supply Chain Management Dalam Era Ekonomi Digital (bag. 2/2)

Pada suatu saat nanti, manakala ada dua perusahaan penjual buku yang memiliki kesamaan keunggulan dalam memanfaatkan teknologi internet dalam menjual produk-produknya, keunggulan kompetisinya akan ditentukan oleh kemampuannya mengelola aliran barang secara fisik. Perusahaan yang bisa unggul adalah yang mampu membantu para penerbitnya mendapatkan pasokan kertas secara teratur dan murah serta yang mampu menciptakan aliansi bisnis dengan perusahaan jasa pengiriman. Keunggulannya juga tidak akan lepas dari kemampuannya mengelola persediaan buku-buku yang dipasarkan sehingga tidak terjadi yang namanya "out of stock" bagi produk-produk yang laris dan tidak menumpuk persediaan terlalu banyak di gudang. 

Kini muncul lagi pertanyaan apakah sebenarnya yang dimaksud dengan Supply Chain Management (SCM) itu sendiri? Apa bedanya dengan ERP? Kemudian apapula itu e-SCM?

SCM adalah suatu kombinasi dari ilmu pengetahuan (sciencei) dan seni (art) untuk melakukan improve dalam perusahaan dari mulai dari penyediaan komponen raw material sampai menjadi products atau services serta sampai dengan delivery-nya hingga sampai ditangan konsumen. Bedanya dengan ERP adalah ERP hanya sampai tahap menjadi products atau services. Jika ERP hanya mencakup bisnis B2B, maka SCM lebih luas lagi yang mencakup bisnis B2B dan B2C. e-SCM adalah sistem dari SCM yang menggunakan media internet. Komponen dari SCM adalah meliputi: Plan, Source, Make, Deliver dan Return.

Kemudian pertanyaan selanjutnya apa saja yang menjadi penghalang dalam hal instalasi dan implementasi dari software e-SCM? Serta apakah dengan instalasi dan implementasi e-SCM maka dipastikan bisnis akan berhasil dalam arti lebih effisien, produktif, memuaskan pelanggan dan bahkan mencitakan bisnis baru dari data perilaku pelanggan anda?

Pada dasarnya yang menjadi penghalang utama dalam hal instalasi dan implementasi e-SCM ada dua yaitu memperoleh kepercayaan dari para supplier dan partner perusahaan serta adanya resistance untuk berubahan dari internal perusahaan.

Menurut data dari IDC Asia Pasifik, investasi TI dari perusahaan-perusahaan di Indonesia pada tahun 2001 sebesar US $ 858 juta. Tahun 2002 diperkirakan sekitar US $ 896,6 juta dan tahun 2003 diramalkan sekitar US $ 1,08 miliar. Dari angka tersebut, kontribusi belanja software diperkirakan sekitar 40%-nya.

Berdasarkan data di atas, nilai yang sudah dan hendak ditanamkan di bidang TI memang cukup signifikan. Alokasi dana sebesar itu yang tujuannya mengintegrasikan semua proses bisnis, efisiensi, meningkatkan produktivitas, mengelola SDM, memuaskan dan mengoptimalkan pelanggan itu, memang sudah seharusnya dilakukan. Sebab, jika visi dan implementasi benar, hasilnya sungguh luar biasa. Di AS saja misalnya, sejak pertengahan 1990-an banyak top eksekutifnya berani mengambil risiko menerapkan teknologi baru dan cara baru berbisnis untuk memacu produktivitas, pemangkasan biaya, dan memuaskan pelanggan. Hasilnya, perusahaan nonkeuangan di sana rata-rata berhasil mendongkrak 25% produktivitas mereka.

Namun masalahnya, banyak juga dari investasi itu yang tak jelas hasilnya. Dan itu tak hanya terjadi di Indonesia. Data dari hasil studi The Standish Group, menyebutkan hanya 28% proyek TI besar yang mampu mencapai harapan, artinya ada 78% yang belum mampu mencapai hasil seperti yang diharapkan meskipun belumlah bisa dikatakan gagal.

Dari tulisan diatas kita bisa lihat plus minus dari penerapan TI khususnya e-SCM dalam perusahaan. Tinggal bagaimana dengan kita dan perusahaan kita, mau menerapkanya dengan investasi yang cukup besar dan adanya risiko gagal atau tetap dengan kondisi saat ini, ditegah persaingan ekonomi digital yang menuntut bisnis untuk cepat beradaptasi dengan kondisi dan lingkungan, dan dalam bisnis elektronik. Selamat  memutuskan.

Penulis : Karya Bakti Kaban, saat ini bekerja di PT Kereta Api Logistik (KALOG) sebagai VP HC, Legal & G.A

Sumber  : KALOG.